Senin, 25 Juli 2011

Bondan Winarno "Maaf, Makanan Ini Tidak Maknyus!"

Hmm… maknyus! Kalimat itu begitu lekat dengan sosok Bondan Winarno.


VIVAnews – Hmm… maknyus! Kalimat itu begitu lekat dengan sosok Bondan Winarno. Selalu muncul untuk mengutarakan rasa nikmat santapan pada level tertinggi, mengungguli rasa enak, mantap, aman, atau standar.

Baginya, kriteria maknyus sangat subyektif. Tergantung kesan pertama saat lidahnya mencecap. “Tidak semua makanan maknyus,” kata Bondan.

Pernah ia membatalkan syuting acara kuliner yang dipandunya gara-gara makanan yang tersaji tak cocok dengan lidahnya. Ia sudah mencoba beberapa menu tapi tetap tak enak. “Terpaksa saya bilang maaf ke pemilik warung kalau makannya tidak maknyus,” ujarnya.

Lidahnya cerdas. Mungkin demikian kata orang. Tak sekadar bisa bilang maknyus, lidahnya juga mampu bercerita banyak tentang makanan yang disantapnya. Mulai makanan mewah racikan chef andal, hingga jajanan kaki lima.

Di sela kesibukan syuting dan mengelola bisnis kuliner yang kian berkibar, pria kelahiran Surabaya 61 tahun lalu itu menyempatkan diri berbincang dengan VIVAnews di kediamannya yang asri, Sentul, Bogor, Jawa Barat, awal bulan ini. Berikut petikan wawancaranya:

Dari mana asal kata ‘maknyus’?Dulu saya suka makan bareng Umar Kayam dan Gunawan Muhammad. Setiap menemukan makanan yang enak, Pak Umar Kayam selalu bilang, “Ini maknyus, mantap.”

Waktu syuting di Wisata Kuliner, saya keceplosan bilang ‘maknyus’ dan ditayangkan. Ternyata, banyak yang suka jadi saya lanjutkan saja. Menurut kru, saya itu Mr one take oke, sekali ambil gambar sudah oke, tidak akan diulang lagi. Hahaha ...
Apa sih kriteria maknyus? Yang paling penting adalah kesan pertama. Waktu mencicip masakan di Jetis Imogiri, mangut lelenya memang yang terkenal, tapi menurut saya biasa saja. Ketika saya mencoba terancamnya ternyata enak, ada kecipir muda yang rasanya maknyus. Jadi, kriterianya ya menurut lidah saya.

Anda suka memilih-milih makanan saat wisata kuliner?Saya tipe orang yang doyan semua makanan. Menyantap makanan itu bisa dipelajari. Dulu saya tidak suka sushi, karena saya pikir makanan mentah kok dimakan. Tapi tahun 1971 saya ke Jepang, dan berpikir apa yang membuat orang Jepang cerdas, ya sushi. Lalu, saya belajar makan sushi.

Makanan yang tidak Anda suka?Saya tidak akan memilih makanan ekstrim, karena masih banyak makanan biasa yang enak. Saya pernah makan daging monyet karena dibohongi. Dan, makan ular waktu kepanduan, itu karena untuk bertahan di alam.

Saya hanya mau menyantap makanan ekstrim kalau ada alasan budaya, seperti larva sagu, Kidu. Saya memakannya di sebuah lapo di Kabanjahe. Terbuat dari ulat pohon enau sepanjang 4 cm, putih, dan gemuk. Ulat itu kemudian digoreng. Di luarnya renyah, di dalamnya seperti sumsum. Maknyus.

Makanan favorit?Kalau ditanya empat tahun lalu, saya pasti menjawab makanan Padang. Saya besar di Padang dan terbiasa bumbu pedas. Sejak 4-5 tahun lalu saya senang makanan yang sehat dan enak, saya suka masakan Manado. Kebanyakan makanan Manado menggunakan ikan segar dan aromanya harum karena pakai kemangi, sereh.

Bagaimana cerita Anda ‘terdampar’ di dunia kuliner?Ini seperti second life  bagi saya. Ayah dan kakak saya meninggal dalam usia muda. Ayah dalam usia 48 tahun, kakak  juga. Saya putuskan untuk pensiun dini dan ingin menata hidup lebih sehat  tanpa stres. Saya sempat ingin menjadi pendeta. Lalu ada tawaran menulis cerita kuliner di Jalan Sutera, lalu berlanjut menjadi host di Wisata Kuliner, ternyata banyak yang suka.

Punya cerita unik dengan popularitas maknyus?Dulu saya sempat tak siap dengan popularitas. Saya pernah keluar dari rumah makan di Bogor, tiba-tiba ditempel mesra wanita montok, lalu minta foto.
Saya sempat ketakutan, foto itu tersebar dan disalahgunakan orang tak bertanggung jawab. Saya sampai bilang ke sopir saya untuk mengingat-ingat peristiwa itu, kalau-kalau foto itu benar-benar disalahgunakan untuk menggosipkan saya. Hahaha ...

Apa saja kesibukan saat ini?Banyak yang mengira saya melakukan wisata kuliner setiap hari. Wisata kuliner hanya tiga hari sebulan. Selebihnya  saya keluar rumah untuk urusan lain. Salah satunya mengurus bisnis Kopitiam Oey yang sekarang sudah ada delapan tempat, sebentar lagi akan menjadi 10. Saya  juga merancang Pusat Kuliner (Puskul) Maknyus Bondan Winarno.
Sebulan, saya di luar kota untuk berbagai urusan dua minggu. Sisanya saya di rumah.

Dari mana konsep Kopitiam Oey?Awalnya saya pikir bisnis restoran bukan bidang saya. Suatu saat ada yang mendorong saya untuk mencobanya. Saya ingin memulai dengan membeli lisensi Kopi Tiam di Singapura, tapi ternyata sudah ada orang Indonesia yang membelinya seminggu sebelumnya.

Saya sempat terpukul waktu itu. Saya lalu membuat konsep sendiri. Konsepnya jadul (jaman dulu), mulai dari interior dan bangunan. Jadilah Kopitiam Oey di Sabang pada 2005. Di sini saya juga ingin mengedukasi orang soal makanan. Orang Indonesia itu makannya kan sembarangan.

Maksudnya?Tidak ada perbedaan antara jam makan. Di Italia, sore dan malam tidak ada capucino, yang ada espresso. Capucino itu ya hanya pagi. Sementara orang kita makan roti dan bubur malam hari. Itu menyalahi aturan makan yang baik. Dari 40 makanan di Kopitiam Oey kami pilang menu, 10 untuk pagi, 15 untuk siang dan 15 untuk malam.

Sekarang Kopitiam Oey ada di Jalan Sabang, Bintaro, Pasar Minggu, Solo, Denpasar, Makassar, Medan. Sebentar lagi di Manado.

Katanya ingin pensiun dini, tapi malah terjun ke bisnis lagi?Sibuknya berbeda. Kalau dulu sebagai eksekutif kan diatur target, rigid. Harus memikirkan karyawan naik gaji, saya itu hard on job, soft on human.  Sekarang saya tidak selalu diatur hidup rigid. Lebih santai, ini yang saya sebut second life. Melalukan hal yang saya sukai.

Anda cukup sukses di berbagai bidang profesi, mulai penulis, jurnalis, pengusaha, dan sekarang di bidang kuliner. Apa kuncinya?Saya itu selalu struggling dan cepat. Saya tidak memiliki kemampuan multitasking. Saya hanya bisa melakukan satu hal saja, tapi cepat. Dulu, waktu saya jadi karyawan dan keluar kota selama empat hari, dua hari pekerjaan beres. Sisanya saya pakai untuk jalan-jalan, dan mencari makanan enak.

Pengalaman masa kecil yang mempengaruhi Anda saat ini?Saya anak bungsu dari tiga bersaudara. Anak pertama laki-laki paling disayang ibu, tidak pernah disuruh bantu-bantu pekerjaan rumah tangga. Anak kedua perempuan tapi takut ke dapur, muntah  kalau ke pasar. Jadilah saya seolah-olah sebagai korban membantu ibu di dapur.

Memang suka masak sejak kecil? Awalnya memang seperti merasa jadi korban, tapi lama-lama mulai menikmati. Sejak kecil saya di kepanduan (pramuka) dan saya memiliki keterampilan khusus memasak.  Akhirnya memasak bukan menjadi sebuah beban tapi sebagai keuntungan. Ibu saya orang  Jawa Timur dan kami hanya memiliki satu orang pembantu. Saya membantu dari belanja hingga masak.

Apa masakan pertama yang berhasil diciptakan?Waktu itu saya masih sekolah di Sekolah Rakyat kelas satu. Umur saya baru tujuh tahun saat membuat  kue kelepon. Saya memang suka kue kelepon yang ditaburi kelapa. Saya juga ikut pandu ‘Anak ajak’, kakak saya penggalang. Kami diajar buat lemang yang dibakar di api unggun.
Masa kecil saya di Padang sampai 1957 kemudian ke Semarang sampai 1969. Tahun 1970 saya ke Jakarta.

Ada kebiasaan keluarga yang memberi andil pada kesenangan mencicip makanan?Iya, Ayah saya seorang PNS dan kami sering jalan-jalan ke luar kota. Waktu itu, di tempat wisata jarang ada jajanan jadi kita harus bawa bekal sendiri. Ibu biasanya masak dan membawa bekal di rantang. Waktu itu rasanya sangat menyenangkan.

Setelah saya punya penghasilan sendiri,  tradisi jalan-jalan dan makan saya lanjutkan. Saya mulai bekerja di umur 20. Sambil kuliah, kerja, dan kos, saya mulai cari makanan yang murah.

Bagaimana cara membedakan citarasa makanan?Kebiasaan di pandu. Kepanduan itu turunan ilmu spionase, kita harus mampu menggambarkan kembali apa yang  kita lihat atau rasakan. Sejak kecil saya sudah merasakan  dan belajar mengingat apa yang saya makan. Kalau makan sayur asam, kuahnya yang kental pakai kemiri, ada rasa ketumbarnya.

Bagaimana menjaga agar tetap sehat meski sering menyantap makanan penuh lemak dan kolesterol?Pakai rumus know what you eat. Kalau lagi syuting, sehari kami bisa mendatangi 8-12 tempat. Semua makanan saya cicipi, tapi tidak dihabiskan.
Kalau tiga hari saya makan enak terus, maka dua hari berikutnya saya harus detoksifikasi. Caranya, saya tidak makan sama sekali, hanya minum air dua liter dan setiap dua jam sekali minum jus buah dan sayur tanpa gula ditambah suplemen.

Kalau selama tiga hari berat saya tambah 1,5 kilogram karena makan lemak dan kolesterol, setelah detoksifikasi selama dua hari, bobot saya akan kembali normal.

Saya juga rutin berolahraha dua jam sehari sepeda dan berenang. Berdisiplin olahraga dan diet membuat gula darah normal. Saya tidak perlu minum obat anti hipertensi yang saya minum selama delapan tahun. Saya merasa lebih baik, lebih gembira dan menikmati hidup.

Pengalaman Anda sudah lengkap. Masih ada obsesi belum terwujud?Saya ingin jadi guru. Ada guru saya, Bu Tati waktu ditanya mau jadi apa saya jawab guru. Dia pikir jawaban saya untuk menyenangkannya saja. Waktu saya jadi instruktur bagi para dokter untuk komunikasikan KB, saya lapor ke Bu Tati, “Bu, Saya jadi guru!”

Di Twitter,  ada yang melihat saya sebagai orang yang asertif, judes. Karena saya orangnya menegur karena ada orang yang tidak punya etika, tidak tahu aturan dan tidak tahu apakah pantas atau tidak. Saya tidak peduli apakah disenangi atau tidak, populer atau tidak.

Saya ingin sebuah program televisi yang bisa mengajari hal-hal kecil untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Misalnya saja tepat waktu. Saya ingin kita jadi bangsa yang disiplin dan beretika. (eh)
• VIVAnews
http://kosmo.vivanews.com/news/read/229423--maaf--makanan-ini-tidak-maknyus--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar